Ku
bangkit setelah lama ambil posisi jongkok menyaksikan kejadian yang menimpa
embun. Mentari mulai meninggi dan membasahi seluruh ragaku dengan cahaya
kuningnya yang lembut. Kugerakan seluruh ototku. Kuajak tubuhku beraktivitas.
Yah… kuolah ragaku.
Putar
kanan… putar kiri… hadap kanan… hadap kiri… badanku meliuk-liuk. Aliran darah
segar segera membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai keasyikan. Di tengah
keasyikan itu, samar-samar kudengar orang bercakap-cakap. Kuajak kakiku
melangkah mencari asal suara. Di ruang tamu kudapati dua orang tengah terlibat
perbincangan yang serius. Aku intip dibalik pintu belakang. Bapak angkat dan
temannya. Aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Bahasa sunda
adalah penghalangnya, karena aku tidak mengerti bahasa itu.
Diam-diam
kuberanikan duduk disamping bapak angkatku setelah mendapat perizinan. Akupun
kini terlibat dalam pembicaraan yang telah mereka mulai. Dengan menggunakan
bahasa indonesia raya, aku bertanya dan menjawab serta menanggapi apa yang ada
dalam diskusi pagi itu.
Masalah
pekerjaan dan tetek bengeknya, hal itulah ternyata yang jadi perdebatan. Bapak
angkatku seorang pedagang dan beliau menekuni pekerjaan itu. temannya seorang
guru dan setengah-setengah menjalani profesi yang dimilikinya.
“Saya
heran kenapa kamu tak pernah capek bolak-balik dari rumah ke pasar tiap hari?”
Pertanyaan temannya buat bapak. Pertanyaan konyol kupikir. Bagaimana tidak coba
, kalau aku boleh bertanya padanya kenapa pula dia tak pernah capek bolak-balik
dari rumahnya ke sekolah? Ya… kan?
“Kata
siapa saya tidak capek!” Bapak menanggapinya singkat.
“Hmm…
tidak, maksud saya apakah kamu tidak bosan?” pertanyaan lanjutan buat bapak.
Gila, sepertinya ini orang sedang didera kebosanan nich dengan kerjanya. Ah,
tapi apa mungkin. Kalau tidak kenapa dia bertanya dengan pertanyan konyol
seperti itu? Hatiku berdialog sendiri.
Suasana
ruangan membisu. Kulirik bapak angkatku. Bapak diam. Bukan diam biasa. Ada
kebijaksanaan dan wibawa tercipta diwajahnya dan aku baru tahu itu. Perkenalanku
dengan bapak angkatku belumlah lama, baru sepekan lebih dua hari. Sejauh ini
aku lihat bapak orangnya humoris, kocak, suka bercanda dan jarang serius. Tapi
pagi ini beda sekali.
Bapak
menghela napas, mengisi ruang kosong didadanya. Perlahan mengalir nasihatnya
lewat lisannya. Diwejangkan jawaban buat pertanyaan temannya.
“Kamu
tahu matahari bukan?” Retoris bapak bertanya. Temannya mengangguk. Begitu juga
aku.
“Matahari
bersinar disiang hari. Muncul ditimur dan tenggelam dibarat. Dia bertugas
menerangi bumi, memberi kehidupan untuk makhluk yang ada di seantero persada.”
Kembali
bapak diam. Kulihat teman bapak diam menyimak sabda bapak. Aku ikut menunggu
apa yang akan disampaikan bapak selanjutnya.
“Kalau
matahari berhenti sejenak saja dari tugasnya, apa yang bakalan terjadi?”
“Kacau…”
Jawab teman bapak. aku mengiyakan. Bapak, aku dan temannya tertawa. Suasana
kembali tak tegang.
“Bagaimana jadinya jika matahripun ikut bosan dan meninggalkan
tugasnya?”
Pertanyaan retoris bapak muncul lagi.
Pertanyaan retoris bapak muncul lagi.
“Begitulah,
bagaimana pula saya akan bosan bolak-balik ke pasar. Jika saya bosan dan
berhenti bekerja, tentunya anak istri saya tak akan makan. Bukankah begitu
Jang?”
Temannya
tersenyum di balik anggukannya. Tampak semangat baru terpancar di air mukanya,
seolah wajah itu berkata “Ayo… semangat bekerja Jang, mendidik dan mengajar
siswa-siswamu”
Aku
terharu mendengar untaian petuah bapak barusan. Aku tidak menyangka sedikitpun
kalau dari lisan lelaki yang tidak sempat menyelesaikan sekolah dasar ini mampu
memberikan motivasi dan pencerahan pada temannya, meskipun profesinya hanyalah
sebagai seorang pedagang. Salut dech… dua jempol untuk bapak angkatku… Hidup
pak Rohim, Bapak yang ikhlas penuh cinta menerimaku selama melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) di pinggiran Kota Banten ini.
-Karya Danil Gusrianto-
0 komentar:
Post a Comment